Oleh:
Risam Purnama
(Mahasiswa Pascasarjana Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung / Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII))
Nabi Muhammad sebagai manusia memiliki cita-cita kolektif yang besar dan konkret, yakni mendirikan suatu negara. Keinginan tersebut barangkali tidak tertulis secara spesifik dalam hadis yang memuat ucapannya semasa hidup, tetapi hadis tidak sebatas ucapan (qauli). Hadis juga mencakup perbuatan (fi‘li) dan pembiaran (taqriri) Nabi. Nabi Muhammad memikul tanggung jawab yang tinggi atas keberlangsungan para pengikutnya.
Sepanjang 13 tahun dakwah di Mekah, umat Muslim dari klan yang lemah mengalami penindasan bertubi-tubi dari kelompok musyrik. Meskipun begitu, Nabi Muhammad tidak memiliki daya bargaining yang dominan dalam membentuk kesepakatan guna melindungi sahabat-sahabatnya, sebab Nabi tidak memiliki otoritas yang kuat dalam tatanan sosial Mekah pada masa itu. Menyadari hal demikian, Nabi Muhammad mengimbau setiap Muslim yang berlatar belakang dari klan kecil—yang tidak memiliki sistem perlindungan efektif—untuk melakukan perjalanan menuju negeri Habasyah (Etiopia). Imbauan tersebut diberikan pada tahun keempat akhir kenabian, bertepatan dengan 615 Masehi.
Rombongan pertama yang pergi ke Habasyah berjumlah 16 orang. Rombongan kedua mencapai 102 orang. Semuanya berasal dari klan lemah, kecuali Utsman bin Affan dan Ruqayyah. Mereka berdua berangkat bukan untuk mendapat suaka, melainkan sebagai petugas dalam memandu upaya mendapatkan perlindungan suaka tersebut, sebab mereka berdua berasal dari klan yang kuat dan terpandang. Petugas suaka sangat penting keberadaannya, mengingat mereka yang melakukan perjalanan ialah kelompok yang memiliki trauma atas penindasan demi penindasan yang dilalui, ditambah perjalanan dari Mekah ke Habasyah tidak hanya melalui jalur darat, tetapi juga jalur perairan Laut Merah.
Pada tahun ketujuh hingga kesepuluh kenabian, Nabi Muhammad menghadapi tantangan berat. Embargo selama tiga tahun oleh Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Umayyah bin Khalaf melemahkan Bani Hasyim dan kaum Muslim. Namun, perjanjian tertulis di Ka‘bah yang terkoyak rayap membebaskan mereka dari embargo. Kematian Abu Thalib dan Khadijah semakin melemahkan sistem perlindungan kekeluargaan Nabi. Meski demikian, Nabi Muhammad terus berdakwah dalam tekanan politik yang semakin berat. Nabi Muhammad sempat berdakwah ke Thaif dengan harapan disambut baik sebab pernah hidup di sana semasa kecil dan memiliki beberapa kerabat. Naasnya, usaha itu gagal akibat propaganda kafir Quraisy.
Nabi Muhammad memiliki analisis yang tajam. Beliau mengetahui bahwa pada bulan Zulhijah akan datang rombongan-rombongan dari luar Mekah. Hal ini menjadi kesempatan emas yang kemudian menjadi titik balik pemberangkatan siyāsah Nabi Muhammad. Berbeda dengan percobaan hijrah ke Thaif yang minim persiapan, hijrah ke Yatsrib disusun dengan strategi yang akurat.
Dari Hijrah ke Konstitusi
Strategi hijrah Nabi Muhammad dilaksanakan pada tahun kesebelas kenabian, tepat pada malam tasyrik, ketika Nabi berdakwah kepada enam orang yang berasal dari Madinah yang tengah menjalankan ibadah haji. Enam orang tersebut bersumpah setia untuk bertauhid, tidak syirik, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak, tidak berdusta, dan tidak membangkang perintah Nabi. Peristiwa ini dikenal sebagai Baiat Aqabah I.
Langkah selanjutnya terjadi pada tahun ketiga belas setelah kenabian. Pada bulan Zulhijah, terdapat 75 orang yang bersumpah setia dan peristiwa itu disebut sebagai Baiat Aqabah II. Nabi menunjuk 12 orang dari mereka sebagai kepala kelompok atau naqib untuk menjadi “panitia lokal” di Yatsrib menjelang hijrah.
Di Yatsrib terdapat dua suku paling terkemuka, yakni suku Aus dan Khazraj, yang bertahun-tahun berperang akibat monopoli yang dilakukan oleh kelompok Yahudi. Yahudi datang ke Madinah mengikuti ramalan dalam kitab sucinya, Taurat, mengenai akan lahirnya nabi pamungkas di Jazirah Arab. Mereka menetap di Madinah dengan harapan nabi tersebut lahir dari rahim perempuan Yahudi keturunan Ishaq dan Ya‘qub, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya.
Hijrah kaum Muslim ke Yatsrib atau Madinah menandai fase baru dalam gerakan kaum Muslimin. Selama di Mekah, kaum Muslim bergerak layaknya komunitas tanpa kesatuan politik yang merdeka. Namun, setelah hijrah, kaum Muslim yang dipimpin Nabi Muhammad memiliki satu kesatuan kekuatan politik yang berdaulat atas wilayah Madinah. Kedaulatan tersebut bukan turun dari langit seperti turunnya wahyu, melainkan melalui proses kontrak sosial antara kaum Muslim Anshar dan Muhajirin, beserta kelompok Yahudi dari Bani Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzah.
Kontrak sosial yang dibangun antarkelompok heterogen di Madinah menciptakan general will (kehendak umum) yang termanifestasi secara tertulis dalam Shahifah. Istilah Shahifah digunakan oleh berbagai ilmuwan dunia. W. Montgomery menyebutnya The Constitution of Medina, R. A. Nicholos menyebutnya Charter, Majid Khadduri menyebutnya Treaty, Philip K. Hitti menyebutnya Agreement, dan Zainal Abidin Ahmad menyebutnya Piagam.
Inilah konstitusi modern pertama yang pernah ada. Dari 47 pasal di dalamnya memuat prinsip-prinsip konstitusi negara modern, yakni pengakuan atas eksistensi suku dan agama dengan toleransi dan solidaritas, kesetaraan semua warga negara di hadapan hukum, pengakuan serta jaminan kebebasan beragama baik bagi Muslim maupun non-Muslim, pengakuan hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, serta pengusungan konsep bela negara dengan hak dan kewajiban yang setara.
Melalui negara Madinah ini, Nabi Muhammad memperjuangkan keadilan sosial. Negara bagi Nabi Muhammad bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen untuk mewujudkan nilai-nilai dan mendorong sistem yang memanusiakan manusia dengan kemanusiaan. Tidak hanya di Madinah, tetapi juga di setiap penjuru bumi. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya utusan negara Madinah ke berbagai negara lainnya pada masa itu, seperti diutusnya Amir bin Umaiyah sebagai diplomat ke Raja Najasyi (Habasyah), Dihyah al-Kalbi ke Heraklius (Kaisar Romawi), Abdullah bin Hudzaifah ke Kisra (Raja Persia), Hatib bin Abi Balta‘ah ke Muqauqis (Raja Mesir), Syuja‘ bin Wahab ke Harits bin Abi Syamir al-Ghasani (Raja Balqa Syam), Salit bin Amir ke Hudzah bin Ali al-Hanaf (pembesar Yamamah), ‘Ala’ bin Hadrami ke Mundzir (Raja Bahrain), serta Abu Musa al-Asy‘ari dan Mu‘adz bin Jabal ke Yaman.
Nabi Muhammad juga membebaskan Mekah dari sistem despotik dan diskriminatif menuju kemerdekaan yang sesungguhnya melalui peristiwa Fathul Makkah.
Editor : Ilham Abdul Jabar